BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat
yang mengurangi atau menghalaurasa nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran. Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi dan
ambang toleransi nyeri yang berbeda-beda bagi setiap orang. (Tan dan Kirana
2002) Parasetamol merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat(SSP).
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara
baik dalam bentuk sediaan tunggalsebagai
analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu,
melalui resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002) .Parasetamol
mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja
antiradang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung hal ini
disebabkan parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid
sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid
sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri
ringan sampai sedang seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan
keadaan lain (Katzung, 2011)
Parasetamol mempunyai efek samping yang paling ringan
dan aman untuk anak-anak.Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya
digunakan Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter.Dari
penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan
Parasetamol bekerja lebih efektif terhadap demam daripada jika diberikan
sendiri-sendiri. (Sartono 1996) Obat ini digunakan untuk mengurangi atau
melenyapkan rasa nyeri, misalnya pada sakit kepala, sakit gigi, nyeri haid dan
lain sebagainya. Obat-obat golongan ini yang beredar sebagai obat
bebas adalah untuk sakit yang bersifat ringan, sedangkan untuk sakit yang berat
(misal: sakit karena batu ginjal, batu empedu dan kanker) perlu menggunakan
jenis obat yang lebih poten (harus dengan resep dokter) dan untuk demam yang
berlarut-larut membutuhkan pemeriksaan dokter. (Widodo 2004).Berbeda dengan
obat analgetik yang lain seperti aspirin dan ibuprofen, parasetamol tidak
memiliki sifat antiradang. Parasetamol aman dalam dosis standar, tetapi karena
mudah didapati, kejadian overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering
terjadi. (Nasution, Y.A., 2009)
1.2 Tujuan
o
Agar
Mahasiswa Mengetahui Tentang Obat-obat Sistem Saraf
o
Untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas Ilmu Dasar Keperawatan V
1.3 Rumusan Masalah
o
Jelaskan
Obat-obat Sistem Saraf ?
o
Jelaskan
Obat Analgetika-Antipiretika
o
Jelaskan
Analgetika-Narkotika ?
o
Jelaskan
Hipnotik-Sedativa (Penenang) ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 OBAT-OBAT SISTEM SARAF
A. ANALGETIKA-ANTIPIRETIKA
Pengertian
Analgetika adalah obat-obat yang dapat mengurangi atau
menghilangkan rasa sakit tanpa menghilangkan kesadaran.Analgetika pada umumnya
diartikan sebagai suatu obat yang efektif untuk menghilangkan sakit kepala,
nyeri otot, nyeri sendi, dan nyeri lainnya.Hampir semua analgetika ternyata
memiliki efek anti inflamasi dimana efek anti inflamasi sendiri berguna untuk
mengobati radang sendi (artritis remautoid).Jadi analgetika anti inflamasi non
steroid adalah obat-obat analgetika yang selain mempunyai efek analgetika juga
mempunyai efek anti inflamasi, sehingga obat-obat jenis ini digunakan dalam
pengobatan reumatik dan gout.
Obat anti inflamasi non steroid (AINS) merupakan obat yang paling banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep dari dokter.Obat-obat golongan ini merupakan suatu obat yang heterogen secara kimia. Klasifikasi kimiawi AINS, tidak banyak manfaat kliniknya karena ada AINS dari subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda, sebaliknya ada obat AINS yang berbeda subgolongan tetapi memiliki sifat yang serupa. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).
Obat anti inflamasi non steroid (AINS) merupakan obat yang paling banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep dari dokter.Obat-obat golongan ini merupakan suatu obat yang heterogen secara kimia. Klasifikasi kimiawi AINS, tidak banyak manfaat kliniknya karena ada AINS dari subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda, sebaliknya ada obat AINS yang berbeda subgolongan tetapi memiliki sifat yang serupa. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).
Beberapa AINS umumnya bersifat anti-inflamasi, analgesik
dan antipiretik. Efek antipiretiknya bari terlihat pada dosis yang lebih besar
dari pada efek analgesiknya, dan AINS relatif lebih toksis dari pada
antipiretika klasik, maka obat-obat ini hanya digunakan untuk terapi penyakit
inflamasi sendi seperti artritis reumatoid, osteo-artritis, spondilitis
ankliosa dan penyakit pirai. Respon individual terhadap AINS bisa sangat
bervariasi walaupun obatnya tergolong dalam kelas atau derivat kimiawi yang
sama. Sehingga kegagalan dengan satu obat bisa dicoba dengan obat sejenis dari derivat
kimiawi yang sama. Semua AINS merupakan iritan mukosa lambung walaupun ada
perbedaan gradasi antar obat-obat ini.
Patologi
Adapun penyebab nyeri sendiri yaitu akibat pengeluaran
prostaglandin secara berlebihan akibat adanya rangsangan nyeri. Adapun rangsangan
nyeri sendiri yaitu :
1. Fisika , dapat berupa benturan dan menyebabkan
bengkak
2. Kimia, dapat terjadi karena tertetesi HCL dan
zat-zat kimia lainnya
3. Biologi , dapat terjadi karena terinfeksi
bakteri atau kuman
Nyeri timbul oleh karena aktivasi dan sensitisasi sistem
nosiseptif, baik perifer maupun sentral.Dalam keadaan normal, reseptor tersebut
tidak aktif.Dalam keadaan patologis, misalnya inflamasi, nosiseptor menjadi
sensitive bahkan hipersensitif. Adanya pencederaan jaringan akan membebaskan
berbagai jenis mediator inflamasi, seperti prostaglandin, bradikinin, histamin
dan sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang
menyebabkan munculnya nyeri. AINS mampu menghambat sintesis prostaglandin dan
sangat bermanfaat sebagai antinyeri
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja anti-inflamsi non steroid (AINS)
berhubungan dengan sistem biosintesis prostaglandin yaitu dengan menghambat
enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 menjadi
terganggu.Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform yang disebut COX-1 dan
COX-2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda. Secara garis besar
COX-1 esensial dalam pemelihraan berbagai fungsi dalam keadaan normal di
berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran cerna, dan trombosit.Dimukosa
lambung aktivitas COX-1 menghasilakan prostasiklin yang bersifat
protektif.Siklooksigenase 2 diinduksi berbagi stimulus inflamatoar, termasuk
sitokin, endotoksindan growth factors.Teromboksan A2 yang di sintesis trombosit
oleh COX-1 menyebabkan agregasi trombosit vasokontriksi dan proliferasi otot
polos.Sebaliknya prostasiklin PGL2 yang disintesis oleh COX-2 di endotel malvro
vasikuler melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi
trombosit.
Obat-Obat Analgetik Anti Inflamasi
Non Steroid (AINS)
Dibawah ini adalah obat-obat yang tergolong AINS, yaitu :
1. Asam mefenamat dan Meklofenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgetika dan
anti-inflamasi, asam mefenamat kurang efektif dibandingkan dengan aspirin.Meklofenamat
digunakan sebagai obat anti-inflamasi pada reumatoid dan osteoartritis.Asam
mefenamat dan meklofenamat merupakan golongan antranilat.Asam mefenamat terikat
kuat pada pada protein plasma.Dengan demikian interaksi dengan oabt
antikoagulan harus diperhatikan.
Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul
misalnya dispepsia, diare sampai diare berdarah dan gejala iritasi terhadap
mukosa lambung.Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg
sehari.Sedangakan dosis meklofenamat untuk terapi penyakit sendi adalah 240-400
mg sehari.Karena efek toksisnya di Amerika Serikat obat ini tidak dianjurkan
kepada anak dibawah 14 tahun dan ibu hamil dan pemberian tidak melebihi 7 hari.
2. Diklofenak
Diklofenak merupakan derivat asam fenilasetat.
Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung lengkap dan cepat.Obat ini
terikat pada protein plasma 99% dan mengalami efek metabolisma lintas pertama
(first-pass) sebesar 40-50%.Walaupun waktu paruh singkat 1-3 jam, dilklofenakl
diakumulasi di cairan sinoval yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih
panjang dari waktu paruh obat tersebut.
Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema
kulit dan sakit kepala sama seperti semua AINS, pemakaian obat ini harus
berhati-hati pada pasien tukak lambung. Pemakaian selama kehamilan tidak
dianjurkan.Dosis orang dewasa 100-150 mg sehari terbagi dua atau tiga dosis.
3. Ibuprofen
Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang
diperkenalkan pertama kali dibanyak negara.Obat ini bersifat analgesik dengan
daya efek anti-inflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama
seperti aspirin, sedangkan efek anti-inflamasinya terlihat pada dosis 1200-2400
mg sehari. Absorpsi ibuprofen cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam
plasma dicapai dicapai setelah 1-2 jam. 90% ibuprofen terikat dalam protein
plasma, ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap.
Pemberian bersama warfarin harus waspada dan pada obat
anti hipertensi karena dapat mengurangi efek antihipertensi, efek ini mungkin
akibat hambatan biosintesis prostaglandin ginjal.Efek samping terhadap saluran
cerna lebih ringan dibandingkan dengan aspirin.Ibuprofen tidak dianjurkan
diminum wanita hamil dan menyusui.Ibuprofen dijual sebagai obat generik bebas
dibeberapa negara yaitu inggris dan amerika karena tidak menimbulkan efek
samping serius pada dosis analgesik dan relatif lama dikenal.
4. Fenbufen
Berbeda dengan AINS lainnya, fenbufen merupakan suatu
pro-drug.Jadi fenbufen bersifat inaktif. Zat ini memiliki waktu paruh 10 jam
sehingga cukup diberikan 1-2 kali sehari. Absorpsi obat melalui lambung dan
kadar puncak metabolit aktif dicapai dalam 7.5 jam. Efek samping obat ini sama
seperti AINS lainnya, pemakaian pada pasien tukak lambung harus berhati-hati.
Pada gangguan ginjal dosis harus dikurangi. Dosis untuk reumatik sendi adalah 2
kali 300 mg sehari dan dosis pemeliharaan 1 kali 600 mg sebelum tidur.
Merupakan derivat indol-asam asetat.Obat ini sudah
dikenal sejak 1963 untuk pengobatan artritis reumatoid dan sejenisnya.Walaupun
obat ini efektif tetapi karena toksik maka penggunaan obat ini
dibatasi.Indometasin memiliki efek anti-inflamasi sebanding dengan aspirin,
serta memiliki efek analgesik perifer maupun sentral.In vitro indometasin
menghambat enzim siklooksigenase, seperti kolkisin.
Absorpsi pada pemberian oral cukup baik
92-99%.Indometasin terikat pada protein plasma dan metabolisme terjadi di hati.
Di ekskresi melalui urin dan empedu, waktu paruh 2- 4 jam. Efek samping pada
dosis terapi yaitu pada saluran cerna berupa nyeri abdomen, diare, perdarahan
lambung dan pankreatis.Sakit kepala hebat dialami oleh kira-kira 20-25% pasien
dan disertai pusing.Hiperkalemia dapat terjadi akibat penghambatan yang kuat
terhadap biosintesis prostaglandin di ginjal.
Karena toksisitasnya tidak dianjurkan pada anak, wanita
hamil, gangguan psikiatrik dan pada gangguan lambung. Penggunaanya hanya bila
AINS lain kurang berhasil. Dosis lazim indometasin yaitu 2-4 kali 25 mg sehari,
untuk mengurangi reumatik di malam hari 50-100 mg sebelum tidur.
6. Piroksikam dan Meloksikam
Piroksikam merupakan salah satu AINS dengan struktur
baru yaitu oksikam, derivat asam enolat. Waktu paruh dalam plasma 45 jam
sehingga diberikan sekali sehari. Absorpsi berlangsung cepat di lambung,
terikat 99% pada protein plasma.Frekuensi kejadian efek samping dengan
piroksikam mencapai 11-46% dan 4-12%.Efek samping adalah gangguan saluran
cerna, dan efek lainnya adalah pusing, tinitus, nyeri kepala dan eritema kulit.Piroksikam
tidak dianjurkan pada wanita hamil, pasien tukak lambung dan yang sedang minum
antikoagulan.Dosis 10-20 mg sehari.
Meloksikam cenderung menghambat COX-2 dari pada
COX-1.Efek samping meloksikam terhadap saluran cerna kurang dari piroksikam.
7. Salisilat
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal dengan asetosal
atau aspirin adalah analgesik antipiretik dan anti inflamasi yang sangat luas
digunakan.Asam salisilat sangat iritatif, sehingga hanya digunakan sebagai obat
luar.Derivatnya yang dapat dipakai secara sistemik adalah ester salisilat
dengan substitusi pada gugus hidroksil, misalnya asetosal. Untuk memperoleh
efek anti-inflamasi yang baik dalam kadar plasma perlu dipertahankan antara
250-300 mg/ml.
Pada pemberian oral sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh di lambung. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian. Setelah diabsorpsi salisilat segera menyebar ke jaringan tubuh dan cairan transeluler sehingga ditemukan dalam cairan sinoval. Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik, efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesa tromboksan.
Pada pemberian oral sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh di lambung. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian. Setelah diabsorpsi salisilat segera menyebar ke jaringan tubuh dan cairan transeluler sehingga ditemukan dalam cairan sinoval. Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik, efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesa tromboksan.
8. Diflunsial
Obat ini merupakan derivat difluorofenil dari asam
salisilat, bersifat analgetik dan anti inflamasi tetapi hampir tidak bersifat
antipiretik. Kadar puncak yang dicapai 2-3 jam. 99% diflunsial terikat albumin
plasma dan waktu paruh berkisar 8-12 jam. Indikasi untuk nyeri sedang sampai
ringan dengan dosis awal 250-500 mg tipa 8-12 jam. Untuk osteoartritis
dosis awal 2 kali 250-500 mg sehari. Efek samping lebih ringan dari
asetosal.
9. Fenilbutazon dan Oksifenbutazon
Fenilbitazon dan oksifenbutazon merupakan derivat
pirazolon. Dengan adanya AINS yang lebih aman, fenilbutazon dan oksifenbutazon
tidak lagi dianjurkan digunakan sebagai anti-inflamasi kecuali obat lain tidak
efektif.
Derivat pirazolon ini memiliki khasiat antiflogistik
yang lebih kuat dari pada kerja analgetiknya jadi golongan ini hanya digunakan
sebagai obat rematik.Fenilbutazon dimasukan secara diam-diam dengan maksud
untuk mengobati keadaan lesu dan letih, otot-otot lemah dan nyeri. Efek
samping derivat pirazolon dapat menyebabkan agranulositosis, anemia aplastik,
dan trombositopenia.
10. Allopurinol
10. Allopurinol
Allopurinol digunakan untuk menurunkan kadar asam urat
di dalam serum dan urin pada penanganan gout primer dan sekunder. Allopurinol
bekerja dengan menghambat xanthin oksidase, enzim yang bertugas mengubah
hipoxanthine menjadi xanthin kemudian menjadi asam urat.Allopurinol mencegah
atau menurunkan endapan asam urat sehingga mencegah gout arthritis.Dengan dosis
awal 2 kali sehari 100-300 mg sehari diminum segera setelah makan.Efek samping
allopurinol dapat menyebabkan hipersensitfitas, gangguan gastrointestinal,
sakit kepala dan megantuk.Maka harus berhat-hati pada pasien yang sedang
mengendarai dan mengoperasikan mesin.
B. ANALGETIKA
NARKOTIKA
Analgetika opioid sering disebut analgetika
sentral. Memiliki daya penghalang nyeri yang kuat sekali dengan titik
kerja yang terletak di SSP. Umumnya dapat mengurangi kesadaran (mengantuk) dan
memberikan perasaan nyaman (euphoria). Analgetik opioid ini merupakan pereda
nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat.
Dapat juga menyebabkan toleransi, kebiasaan
(habituasi), ketergantungan fisik dan psikis (adiksi) dan gejala-gejala
abstinensia bila diputuskan pengobatan (gejala putus obat). Karena bahaya dan
gejala-gejala di atas maka pemakaian obat-obat ini diawasi dengan seksama oleh
DEPKES dan dimasukkan kedalam Undang-undang Obat Bius (Narkotika).
Analgetika narkoti, kini disebut juga
opioida (= mirip opiate) adalah zat yang bekerja terhadap reseptor opioid khas
di susunan saraf pusat, hingga persepsi nyeri dan respon emosional terhadap
nyeri berubah (dikurangi). Minimal ada 4 jenis reseptor, pengikatan padanya
menimbulkan analgesia.Tubuh dapat mensintesa zat-zat opioidnya sendiri, nyakni
zat –zat endorphin yang juga bekerja melalui reseptor opioid tersebut.
Tubuh sebenarnya memiliki sistem penghambat
nyeri tubuh sendiri (endogen), terutama dalam batang otak dan sumsum tulang
belakang yang mempersulit penerusan impuls nyeri.
Dengan sistem ini
dapat dimengerti mengapa nyeri dalam situasi tertekan, misalnya luka pada
kecelakaan lalu lintas mula-mula tidak terasa dan baru disadari beberapa saat
kemudian. Senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh sistem endogen ini disebut
opioid endogen. Beberapa senyawa yang termasuk dalam penghambat nyeri endogen
antara lain: enkefalin, endorfin, dan dinorfin.
Endorphin (morfin endogen) adalah kelompok
polipeptidaendogen yang terdapat di CCS dan dapat menimbulkan efek yang
menyerupai efek morfin.Zat-zat ini dapat dibedakan antara β-endorfin, dynorfin
dan enkefalin (yun. Enkephalos = otak), yang menduduki reseptor-reseptor
berlainan.secara kimiawi za-zat ini berkaitan dengan kortikotrofin (ACTH),
menstimulasi pelepasanya juga dari somatotropin dan prolaktin. Sebaiknya
pelepasan LH dan FSH dihambat oleh zat ini.β-endorfin pada hewan berkhasiat
menahan pernapasan, menurunkan suhu tubuh dan menimbulkan ketagihan. Zat ini
berdaya analgetis kuat, dalam arti tidak merubah persepsi nyeri, melainkan
memperbaiki ‘’penerimaannya”. Rangsangan listrik dati bagian- bagian tertentu
otak mengakibatkan peningkatan kadar endorphin dalam CCS. Mungkin hal ini
menjelaskan efek analgesia yang timbul (selama elektrostimulasi) pada
akupunktur, atau pada stress (misalnya pada cedera hebat).Peristiwa efek
placebo juga dihubungkan dengan endomorfin.
Opioid endogen ini
berhubungan dengan beberapa fungsi penting tubuh seperti fluktuasi hormonal,
produksi analgesia, termoregulasi, mediasi stress dan kegelisahan, dan
pengembangan toleransi dan ketergantungan opioid. Opioid endogen mengatur
homeostatis, mengaplifikasi sinyal dari permukaan tubuh ke otak, dan bertindak
juga sebagai neuromodulator dari respon tubuh terhadap rangsang eksternal.
Baik opioid
endogen dan analgesik opioid bekerja pada reseptor opioid, berbeda dengan
analgesik nonopioid yang target aksinya pada enzim.
Ada beberapa jenis
Reseptor opioid yang telah diketahui dan diteliti, yaitu reseptor opioid μ, κ, σ, δ, ε. (dan yang
terbaru ditemukan adalah N/OFQ receptor, initially called the
opioid-receptor-like 1 (ORL-1) receptor or “orphan” opioid receptor dan
e-receptor, namum belum jelas fungsinya).
Reseptor μ memediasi efek
analgesik dan euforia dari opioid, dan ketergantungan fisik dari opioid.
Sedangkan reseptor μ 2 memediasi efek depresan pernafasan.
Reseptor δ yang sekurangnya
memiliki 2 subtipe berperan dalam memediasi efek analgesik dan berhubungan
dengan toleransi terhadap μ opioid. reseptor κ telah diketahui dan berperan dalam efek
analgesik, miosis, sedatif, dan diuresis. Reseptor opioid ini tersebar dalam
otak dan sumsum tulang belakang. Reseptor δ danreseptorκ menunjukan selektifitas untuk ekekfalin
dan dinorfin, sedangkan reseptor μ selektif untuk opioid analgesic.
Mekanisme umumnya
:
Terikatnya opioid
pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam
sel, selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya
ion K+ ke dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam
sel adalah terjadinya pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida
penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan mengakibatkan transmisi
rangsang nyeri terhambat.
Endorfin bekerja dengan jalan menduduki
reseptor – reseptor nyeri di susunan saraf pusat, hingga perasaan nyeri dapat
diblokir.Khasiat analgesic opioida berdasarkan kemampuannya untuk menduduki
sisa-sisa reseptor nyeri yang belum di tempati endokfin.Tetapi bila analgetika
tersebut digunakan terus menerus, pembentukan reseptor-reseptor baru di
stimulasi dan pdoduksi endorphin di ujung saraf pusat dirintangi.Akibatnya
terjadilah kebiasaan dan ketagihan.
Efek-efek yang ditimbulkan dari perangsangan
reseptor opioid diantaranya:
o
Analgesik
o
Medullary effect
o
Miosis
o
Immune function and Histamine
o
Antitussive effect
o
Hypothalamic effect
o
GI effect
Efek samping umum
o
Pada dosis biasa : gangguan
lambung usus (mual, muntah, obstipasi), efek saraf pusat (kegelisahan, rasa
kantuk, euphoria), dan lain-lain.
o
Pada dosis tinggi : efek yang
lebih berbahaya seperti sulit bernafas, tekanan darah turun, sirkulasi darah
terganggu, koma, dan sampai pernafasan terhenti.
o
Supresi susunan saraf pusat,
misalnya sedasi, menekan pernafasan dan batuk, miosis, hypothermia, dan
perubahan suasana jiwa (mood). Akibat stimulasi lagsung dari CTZ (Chemo Trigger
Zone) timbul mual dam muntah. Pada dosis lebih tinggi mengakibatkan menurunnya
aktifitas mental dan motoris.
o
Saluran cerna : motilitas
berkurang (obstipasi), kontraksi sfingter kandung empedu (kolik batu
empedu).
o
Saluran urogenital : retensi
urin (karena naik nonus dari tonus dan sfingter kandung kemih), motilitas
uterus berkurang (waktu persalinan diperpanjang).
o
Saluran nafas: bronchkontriksi,
penafasan menjadi lebih dangkal dan frekuensi turun.
o
System sirkulasi :
vasodilatasi, hypertensi dan bradycardia.
o
Histamine-liberator: urticaria
dan gatal-gatal, karena menstimulasi pelepasan histamine.
o
Kebiasaan dengan resiko adiksi
pada penggunaan lama. Bila terapi dihentikan dapat terjadi gejala abstinensia.
PENGGOLONGAN
Atas
dasar cara kerjanya, obat – obat ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yakni :
1. Agonis opiate, yang dapat dibagi dalam :
Alkaloida
candu : morfin, kodein, heroin, nicomorfin.
Zat-zat
sintesis : metadon dan derivate-derivatnya (dekstromoramida, propoksifen,
bezitramida), petidin dan detivatnya (fentanil, sufentanil) dan tramadol.
Cara
kerja obat-obat ini sama dengan morfin hanya berlainan dengan potensi dan lama
kerjanya. Efek samping dan resiko akan kebiasaan dengan ketergantungan fisik.
2. Antagonis opiate : nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin, dan
nalbufin. Bila digunakan sebagai analgetika, obat ini dapat menduduki salah
satu reseptor.
3. Kombinasi, zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opioid, tetapi
tidak mengaktifasi kerjanya dengan sempurna.
Undang – undang narkotika. Dikebanyakan
Negara,beberapa obat dari kelompok obat ini, seperti propoksifen, pentazosin,
dan tramadol, tidak termasuk dalam undang – undang narkotika, karena bahaya
kebiasaan dan adiksinya ringan sekali. Namun, penggunaannya dalam jangka waktu
lama tidak dianjurkan.Pada tahun 1978, propeksifen di negeri Belanda dimasukkan
dalam “opiumwet”.
PENGGUNAAN
Tangga analgetika. WHO telah
menyusun suatu program penggunaan analgetika untuk nyeri hebat misalnya pada
kanker, yang mengolongkan obat dalam 3 kelas, yakni :
a.
Non-opioida : NSAID’s, termasuk asetosal dan kodein
b.
Opioida lemah : d-propoksifen, tramadol, dan
kodein, atau kombinasi parasetamol dengan kodein
c.
Opioida kuat : morfin dan derivate – derifatnya serta
zat – zat sintetis opioid.
Menurut program ini, pertama-tama obat
diberika 4 dd 1 g parasetamol, bila efeknya kurang beralih ke 4-6 dd kodein
30-60 mg (bersama parasetamol).Baru bila langkah ini tidak menghasilkan
analgesi yang memuaskan, dapat biberikan opioid kuat. Pilihan pertama dalam hal
ini adalah morfin ( oral, subkutan kuntinu, intravena, epidural atau spinal).
Tujuan utama dari program ini adalah untuk
meghindari resiko kebiasaan dan adiksi untuk opioid bila diberikan sembarangan.
KEHAMILAN DAN LAKTASI
Opioida
dapat melintasi plasenta, tetapi dapat digunakan beberapa waktu sebelum
persalinan.Bila diminum terus, zat ini dapat meursak janin akibat depresi
pernafasan dan memperlambat persalinan.Banyi dan ibu yang ketagihan menderita
gejala abstinensi. Selama laktasi, ibu dapat menggunakan opioida karena hanya
sedikit terdapat pada air susu ibu.
KEBIASAAN DAN
KETERGANTUNGAN
Penggunaan
pada jangka waktu yang lama pada sebagian pemakai menimbulkan kebiasaan dan
ketegantungan.Penyebabnya mungkin karena berkurangnya resoprpsi opioid atau
perombakan /eliminasinya yang dipercepat atau bisa juga karena penurunan
kepekaan jaringan.Obat menjadi kurang efektif, sehingga diperlukan lagi dosis
yang lebih tinggi lagi untuk mencapai efek semula.Peristiwa ini disebut dengan
toleransi dan bercirikan pula bahwa dosis tinggi dapat lebih baik diterima
tanpa menimbulakn efek intoksikasi.
Disamping
ketergantungan fisik tersebut dapat pula ketergantungan psikis, yaitu kebutuhan
mental akan efek psikotrop (euphoria, rasa nyaman dan segar) yang dapat menjadi
sangat kuat, hingga pasien seolah olah terpaksa melanjutkan penggunaan obat.
Gejala
abstinensi selalu timbul bila penggunaan obat dihentikan ( dengan mendadak) dan
semula dapat berupa menguap, berkeringan hebat dan air mata mengalir, tidur
gelisan dan merasa kedinginan.. lalu timbul muntah-muntah, diare, tachycardia,
ydriasis (pupil membesar), tremor, kejang otot, peningkatan tensi, yang dapat
disertai dengan reaksi psikis hebat (gelisah, mudah marah dank e khawatiran
mati).
Efek-efek
ini menjadi penyebab mengapa penderita yang duah ketagihan sukar sekali
menghentikan opiate.Guna menghindari efek-efek opiate ini, mereka terpaksa
melanjutkan penggunaannya.
Ketergantingan
fisik lazimnya sudah lenyak dua minggu setelah penggunaan obat dihentikan.Ketergantungan
psikis seringgkali sangan erat, maka pembebasan yang tuntas skar sekali
dicapai.
ANTAGONIS MORFIN
Antagonis
morfin adalah zat-zat yang dapat melawan efek-efek opioida tanpa mengurangi
kerja analgetisnya.Yang paling terkenal adalah nalokson, naltrekson, dan
nalorfin. Obat ini digunakan terutama pada overdose intoksikasi. Khasiat
antagonisnya diperkirakan berdasarkan penggeseran opioda dari tempatnya di
reseptor-reseptor otak.Antagonis morfin juga berkhasiat analgetis, tetapi tidak
digunakan dalam terapi karena khasiatnya lemah an efeksampingnya mirip morfin
(depresi pernafasan, reaksi psikotis).
Macam-macam obat Analgesik Opioid :
a. Morfin (F.I) : MS Contin, kapanol.
Candu atau opium adalah getah yang
dikeringkan dan diperolah dari tumbuhan papaver somniferum (Lat = menyebabkan
tidur) morfin mengandung 2 kelompok alkaloida yang secara kimia sangan
berlainan. Kelompok fenantren meliputi morfin, kodein dan tebain. Kelompok
kedua adalah isokinolin dengan struktur kimiawi dan khasian amat berlainan
(antara lain non-narkotis), yakni papaverin, nosapin ( = narkotin), dan
narsein. Zat ini berkhasiat analgetis sangan kuat, lagi pula memiliki jenin
kerja sentral lainnya , antara lain sedative dan hipnotis, menimbukakn
euphoria, menekan pernafasan, dan menghilangkan efek batuk, yang semuanya
berdasarkan supresi susunan saraf pusat (SSP). Morfin juga menimbulakn efek
stimulasi SSP, misalnya miosis (peciutan pupil mata), mual, muntah-muntah,
eksitasi, konvulsi.Efek perifernya yang penting adalah obstipasi, retensi
kemih, dan vasodilatasi pembuluh kulit.
Penggunaannya khusus pada nyeri kuat kronis dan akut, seperti
pasca-bedah dan setekah infark jantung, juga pada fase terminal dari kanker.
Banyak digunakan sebagai tablet retard untuk memperpanjang kerjanya (MS Contin,
kapanol).
Resorpsinya di usus baik, tetapi BA nya hanya ca 25 % akibat FPE
besar, mulai kerjanya setelah 1-2 jam dan bertahan samai 7 jam. Resorpsi dari
suppositoria umumnya sedikin lebih baik, secara s.c./i/m baik sekali. PP nya
35% dalam hati zat ini diubah menjadi 70% dalam bentuk glukuronida, dan hanya
sebagian kecil ( 3%) dari jumlah ini terdiri dari morfin-6-glukuronida, dengan
kerja analgetis lebih kuat. Ekskresinya melalui kemih, empedu dengan siklus
enterohepatis, dan tinja.
ANTIDOTA. Pada intoksikasi digunakan antagonis morfin sebagai
antidotum, yakni nalokson
Dosis : dewasa oral 3-6 dd 10-20 mg garam-HCl, s.c/i.m. 3-6 dd 5-20
mg.
Anak-anak : oral 2 dd 0,1-0,2 mg/kg.
Sediaan
a.
Pulv. Opii : 10% morfin
b.
Pulv. Doveri : 1% morfin + Rad. Ipecacuanhae + K2SO4.
c.
Acidov II : p. Doveri150 mg + salamid 350 mg.
d.
Heroin (diamorfin, diasetilmorfin) adalah turunan
semi-sintesis dengan kerja analgetis yang 2 kali lebih kuat, tetapi
mengakibatkan adiksi yang cepat dan hebat sekali. Dengan alas an ini heroin
tidak digunakan lagi dalam terapi, tetapi sangat disukain sekali oleh para
pecandu drug.
b. Metadon : amidon, symoron
Zat sintetis ini (1947) adalah suatu
campuran rasemis, yang memiliki daya analgetik dua kali lebih kuat dari pada
morfin, dan berkhasiat anastetik local.
Indikasi :
Detoksifikasi ketergantungan morfin, nyeri hebat pada pasien yang di rawat di
rumah sakit.
Resorpsinya di
usus baik, PP-nya 90% plasma-t-1/2-nya rata-rata 25 jam dan efeknya dapat
bertahan sampai 48 jam pada terapi pemeliharaan bagi para pecadu. Umumnya
metadon tidak menimbulkan eurofia, sehingga banyak digunakan untuk menghindari
gejala abstinensi setelah penghentian penggunaan zat opioida yang lain. Khusus
digunakan sebagai zat pengganti heroin dan morfin pada terapi subtitusi para
candu.
Efek sampingnya
kurang hebat dari morfin terutama efek hipnotis dan euforianya lemah, tetapi bertahan
lebih lama. Penggunaan lama juga menimbulkan adiksi yang lebih mudah
disembuhkan. Efek obstipasinya agak ringan tetapi penggunaannya selama selama
persalinan harus dengan hati-hati karena dapat menekan pernafasan.
Dosis : pada nyeri
oral 4-6 dd 2,5 -10 mg garam HCl, maksimum 150 mg/hari. Terapi pemeliharaan
pecandu : permulaan 20-30 mg, setelah 3-4 jam 20 mg, lalu 1 dd 50-100 mg selama
6 bulan.
*Dekstromoramida
(patfium) adalah opioid sintetis (1956) yang rumusnya mirip metadon. Khasiat
analgetisnya lebih kuat sedikit dari pada morfin. Mulai kerjanya cepat, efeknya
setelah 20-30 menit, dan bertahan lebih singkat, ca 3 jam. Depresi
pernafasannya lebih kuat dibandingkan morfin, pada dosis biasa dapat tejadi
apnoe, begitu pula efek adiksinya. Tidak layak untuk pengobatan nyeri kronis.
Efek sedasi dan obstipasinya lebih ringan
Dosis : oral, s.c. atau i.m. 3-4 dd 2,5-5 mg sebagai hidrogentartrat,
Efek tak diinginkan:
ü Depresi pernapasan
ü Konstipasi
ü Gangguan SSP
ü Hipotensi ortostatik
ü Mual dan muntah pada dosis awal
b.
Fentanil :fetanyl, durogesic, *Thalamonal.
Derivate piveridin ini (1963) merupakan
turunan dari petidin (dolnatin) yang jarang digunakan lagi karena efek samping
dan sifat adiksinya. Efek analgenis agonis opiate ini 80x lebih kuat dari pada
morfin. Mulai kerjanya cepat, yaitu 2-3 menit (i.v.), tetapi singkat hanya ca
30 menit.
Indikasi : Medikasi praoperasi yang
digunakan dalan anastesi dan infack jangtung.
Efek
sampingnya mirip morfin, termasuk defresi pernafasan, bronchospasme, dan
kekakuan otot (thorax). Zat ini jarang menimbulkan penghambatan sirkulasi,
yakni penurunan cardiack output dan bradycardia.
Dosis : pada infark i.v. 0,05 mg + 2,5 mg
droperidl (thalamonal), bila perlu diulang setelah setengah jam. Plester
(durogenic) melepaskan secara konstan morfin selama 72 jam.
Sufentanil (sufentalforte) adalah derivat (1981) dengan daya analgetis ca 10x
lebih kuat. Sifat dan efek sampingnya sama dengan fentanil. Zat ini terutama
digunakan pada waktu anestesi dan pasca bedah, juga pada waktu his dan
persalinan (dikombinasi dengan suatu anestetikum).
Dosis :
pada waktu his dan persalinan epidural 10 mcg bersama bupivakain, bila perlu
diulang 2 kali.
b. kodein (F.I.) : Metilmorfin, *Codipront
Alkaloida candu ini
memiliki khasiat yang sama dengan induknya, tetapi lebih lemah misalnya efek
analgetisnya 6-7 x kurang kuat. Efek samping dan resiko adiksinya lebih ringan,
sehingga sering digunakan sebagai obat batuk dan obat antinyeri, yang diperkuat
melalui kombinasi denagn parasetamol/asetasal.Obstipasi dan mual dapat terjadi
teruatama pada dosis lebih tinggi (diatas 3 dd 20 mg).resorpsi oral dan rectal
baik; didalam hati obat ini diubah jadi narkodein dan morfin (10%).
Ekskresinyalewat kemih debagai glukuronoda dan 10% secara utuh. Plasma-t1 /
2-nya 3-4 jam.
Dosis : pada nyeri
oral 3-6 dd 15-60 mg garam-HCl, anak-anak diatas 1 tahun 3-6 dd 0,5 mg/kg. pada
batuk 4-6 dd 10-20 mg, maksimal 120 mg/hari, anak-anak 4-6 dd 1 mg/kg.
*Etilmorfin
(Dionin) adalah derivate dengan khasiat analgetis dan hipnotis lebih lemah,
penghambatannya terhadap pernafasannya pun lebih ringan. Untuk menekan batuk,
obat ini kurang efektif dibandingkan dengan kodein, tetapi dahulu banyak
digunakan dalam sediaan batuk.
*noskapin
(narkotin, longantin, mercotin, neocodin) adalah alkaloida candu lain, tanpa
sifat narkotis, yang lebih efektif sebagai obat batuk
Dosis : pada anak-anak 2-3 dd 150 mg, maksimum 200 mg/ hari
Ko
c.
Tramadol
: tramal
Derivat sikloheksanol
ini (1977) adalah campuran rasemis dari 2 isomer. Khasiat analgetisnya sedang
dan berdaya menghambat reuptake noradrenalin dan antitusif (anti-batuk). Obat
ini disebagian negara sianggap sebagai analgetikum opiat karena bekerja
sentral, yakni melalui pendudukan reseptor opioid. Meskipun demikina zat ini
tidak menekan pernafasan, praktis tidak mempenganruhi sistem kardiovaskuleratau
motilitas lambung-usus. Tramadol digunakan untuk sakit nyeri menengah
hingga parah. Sediaan tramadol pelepasan lambat digunakan untuk menangani nyeri
menengah hingga parah yang memerlukan waktu yang lama.
Walaupun memiliki
sifat adiksi ringan tetapi dalam praktek ternyata rasikonya praktis nihil
sehingga tidak termasuk daftar narkotika di kebanyakan negara deperti AS, GB,
BRD, Swis, Swedia, Jepang, termasuk Indonesia. Efek analgetis dari 120 mg
tramadol oral setaraf dengan 30-60 mg morfin. Penggunaannya oral, rektal, dan
parental untuk nyeri sedang sampai hebat, bila kombinasi parasetamol-kodein dan
NSAIDs kurang efektif atau tidak dapat digunakan. Untuk nyeri akut atau pada
kanker pada umumnya morfin lebih ampuh.
Resorpsinya di usus
cepat dan tuntas dengan BA rata-rata 78%, plasma-t-1/2-nya 6 jam. Efeknya
dimulai sesudah 1 jam dan dapat bertahan hingga 6-8 jam. Dalam hati , sebagian
besar zat diuraikan menjadi antara lain metabolit dengan daya kerja 6 kali
lebih kuat. Ekskresinya berlangsung lewat urin, untuk 10% secara utuh.
Efek sampingnya tak
begitu berat dan sering berupa termangu-mangu, berkeringat, pusing, mual dan
muntah, juga obstipasi, gatal-gatal, rash, nyeri kepala dan rasa letih. Resiko
habituasi, ketergantungan dan adiksi dianggap ringan. Namun tidak di anjurkan
penggunaannya oleh penderita dengan sejarah pengalahgunaan drugs.
Wanita hamil dan menyusui. Opioda dapat melintasi plasenta dan
sebegitu jauhdiketahui tidak merugikan janin bila digunakan jauh sebelum
partus. Hanya o,1% dari dosis masuk kedalam air susu ibu. Meskipun demikian,
tramadok tidak dianjurkan selama kehamilan dan laktasi.
Dosis: di atas 14 tahun 3-4 dd 50-100 mg, maksimum 400 mg sehari. Anak-anak diats
1 tahun : 3-4 dd 1-3 mg/kg.
Minumlah tramadol
sesuai dosis yang diberikan, jangan minum dengan dosis lebih besar atau lebih
lama dari yang diresepkan dokter. Jangan minum tramadol lebih dari 300 mg
sehari.
d.
Nalokson : narcan
Antagonis morfin ini
memiliki rumus morfin dengan gugus alil pada atom N (1969). Zat ini dapat
meniadakan semua khasiat morfin dan opioida lainya, terutama depresi pernafasan
tanpa mengurangi efek analgetisnya. Penekanan pernapasan dari obat-obat depresi
SSP lain ( barbital, siklopropan, eter) tidak ditiadakan, tetapi juga tidak
diperkuat seperti nalorfin. Bila madiri tidak memiliki kerja agonistis
(analgetis). Penggunaannya sebagai antidotum pada overdose opioida (dan
barbital), paska operasi untuk mengatasi depresi pernapasan oleh opioid. Atau
secara diagnostis untuk menentukan adiksi sebalum dimulai dengan penggunaan
naltrexon.
Kinetik. Setelah injeksi
i.v. sudah berefek setelah 2 menit, yang bertahan 1-4 jam. plasma-t-1/2-nya
hanya 45-90 menit, lama kerjanya lebih singkat dari opioida, maka lajimnya
perlu diulang beberapa kali.
Efek sampingnya dapat
berupa tachycarsia (setelah bedah jantung), jarang reaksi alergi dengan shock
dan edema paru-paru.
Pada penangkalan efek
opioida terlalu pesat dapat menjadi mual, muntah, berkeringat, pusing-pusing,
hipertensi, tremor, serangan epilepsi, dan berhentinya jantung.
Dosis : pada
overdose opioida, intravena permula 0,4 mg, bila perlu diulang setiap 2-3
menit.
* Nalorfin
(alilnormorfin) adalah zat induk nalokson (1952) dengan khasiat sama, kecuali
juga berkhasiat analgesik lemah.
Zat ini mampu
meniadakan depresi e\pernapasan yang hebat oleh opioida, tetapi justru
memperkuat depresi yang bersifat ringan, atau akibat opioida dengan kerja
campuran (agonistis dan antagonistis) dan zat-zat sentral lain. Oleh karena
itu, zat ini hanya digunakan pada
operdose opioida bila nalokson tidak tersedia.
Dosis : pada
overdose s.c./i.m./i.c. 5-10 mg bila perlu diulang setelah 10-15 menit sampai
maksimum 40 mg sehari.
* Naltrekson (Nalorex)
adalah derivat nalokson dimana gugus alil diganti dengan siklopropil (1985).
Sifatnya antagonis murni yang tidak mengakibatkan toleransi atau ketergantungan
fisik dan psikis. Dalam hati zat ini diubah menjadi metabolit aktif
6β-naltreksol yang terutama diekresi melalui kemih. Naltrekson mengalami siklus
enterohepatis, masa paruhnya 4-12 jam.
Penggunaannya
terutama untuk menghambat efek-efek opioida berdasarkan pengikatan kompetitif
pada reseptor opioida dan sebagai obat antiketagihan heroin. Pada pecandu obat
opiat dapat menimbulkan gejala abstinensi hebat dalam waktu 5 menit, yang dapat
bertahan 48 jam. Obat ini hanya boleh diberikan setelah penghentian heroin /
morfin atau metadon sekurang-kurangnya masing – masing 7 dan 10 hari.
Dosis: permulaan
25 mg, bila tidak menjadi efek abstinensi setelah 1 jam diulang dengan 25 mg.
Lalu
e.
Pentazocin : Fortral
Zat
sintetis ini diturunkan dari morfin (1964), dimana cincin fenantren diganti
oleh naftalen.Gugus-N-allil memberika efek antagonis terhadap opioida
lainnya.Khasiatnya beragam, yakni disamping antagonis lemah, juga merupakan
agonis parsiil.Khasiat analgetisnya sedang sampai kuat, lebih kurang antara
kodein dan petidin 3 – 6 kali lebih lemah dari pada morfin.Di AS sering
disalahgunakan dalam kombinasi dengan antihistaminika dan nalokson.
Resorpsinya
diusus baik, tetapi BA hanya ca 20% akibat FPE besar. Mulai kerjnya cepat,
setelah 15-30 menit dan bertahan minimal 3 jam. Efek rektalnya sama dengan
pengguaan oral. PPnya 60% plasma-t-1/2-nya
2-3 jam. Dalam hati zat ini diubah menjadi metabolit yang diekresi terutama
lewat kemih.
Dosis: pada nyeri
sedang – kuat 3-4 dd 50-100 mg, maksimal 600 mg sehari.
f.
Kanabis : *marihuana,
*hashiz,, weed, grass
Pucuk dengan kembang dan
buah-buah muda yang dikeringkan dari bentukwanita tumbuhan cannabis sativa
(Asia Barat). Kandungannya 0,3% minyak atsiri dengan zat-zat terpen, terutama
tetrahidrokanabinol (THC). Zat ini banyak khasiat farmakologisnya, yang terpenting
diantaranya adalah sedatif, hipnotis, dan analgetis, antimual dan spasmolitis.
Khasiat analgetis pada
THC terjadi di batang otak, dimana terletak pula titik kerja dari opioida.
Hanya mekasime kerjanya yang berlainan, reseptor morfin tidak memegang
peranandan nalokson tiak melawan efek analgetisnya. Disamping itu ambang nyeri
diturunkan. Dahulu meski jarang kanabis digunakan sebagai obat tidur,
sedatifum, dan spasmolotikum pada tetanus, umumnya dalam bentuk ekstrak 2-3 dd
30-50 mg. Sekarang kanabis banyak disalahgunakan sebagai zat penyegar narkotik.
Akhir-akhir ini mulai digunakan lagi dengan efek sebagai anti emetikum dan
analgetikum, pada kangker, stimulans nafsu makan pada penderita AIDS, an obat
relaksasi kejang/otot pada MS.
g. Dolantin
Merupakan zat sintetis ,
secara kimia lebih menyerupai atropin daripada morfin. Memiliki sifat
spasmolitik, sedangkan sifat menekan terhadap pusat batuknya sama dengan
morfin.
h.
Dihidromorfin dan Dilaudid
Adalah turunan morfin dengan khasiat analgetiknya
kurang lebih 5 kali morfin, tetapi jangka waktu bekerjanya lebih pendek dan
khasiat membiusnya lebih lemah.
3. HIPNOTIK-SEDATIVA (PENENANG)
Hipnotik atau obat tidur berasal dari kata hynops yang
berarti tidur, adalah obat yang diberikan malam hari dalam dosis terapi dapat
mempertinggi keinginan tubuh normal untuk tidur, mempermudah atu menyebabkan
tidur.Sedangkan sedative adalah obat obat yang menimbulkan depresi ringan pada
SSP tanpa menyebabkan tidur, dengan efek menenangkan dan mencegah kejang-kejang.
Yang termasuk golongan obat sedative-hipnotik adalah: Ethanol
(alcohol),Barbiturate,fenobarbital,Benzodiazepam, methaqualon.
Insomnia dan pengobatannya
Insomnia atau tidak bisa tidur dapat disebabkan
oleh factor-faktor seperti : batuk,rasa nyeri, sesak nafas, gangguan emosi,
ketegangan, kecemasan, ataupun depresi. Factor penyebab ini harus dihilangkan
dengan obat-obatan yang sesuai seperti:Antussiva, anelgetik, obat-obat
vasilidator, anti depresiva, sedative atau tranquilizer.
Persyaratan obat tidur yang ideal
1.
Menimbulkan suatu keadaan yang sama dengan tidur normal
2.
Jika terjadi kelebihan dosis, pengaruh terhadap fungsi
lain dari system saraf pusat maupun organ lainnya yang kecil.
3.
Tidak tertimbun dalam tubuh
4.
Tidak menyebabkan kerja ikutan yang negative pada
keesokan harinya
5.
Tidak kehilangan khasiatnya pada penggunaan jangka
panjang
Efek samping
Kebanyakan obat tidur memberikan efek samping umum yng mirip dengan
morfin antara lain :
a.
Depresi pernafasan, terutama pada dosis tinggi,
contihnya flurazepam, kloralhidrat, dan paraldehida.
b.
Tekanan darah menurun, contohnya golongan barbiturate.
c.
Hang-over, yaitu efek sisa pada keesokan harinya
seperti mual, perasaan ringan di kepala dan pikiran kacau, contohnya golongan
benzodiazepine dan barbiturat.
d.
Berakumulasi di jaringan lemak karena umumnya hipnotik
bersifat lipofil.
Penggolongan
Secara kimiawi, obat-obat hipnotik digolongkan sebagai berikut :
1.
Golongan barbiturate, seperti fenobarbital,
butobarbital, siklobarbital, heksobarbital,dll.
2.
Golongan benzodiazepine, seperti flurazepam,
nitrazepam, flunitrazepam dan triazolam.
3.
Golongan alcohol dan aldehida, seperti klralhidrat dan
turunannya serta paraldehida.
4.
Golongan bromide, seperti garam bromide ( kalium,
natrium, dan ammonium ) dan turunan ure seperti karbromal dan bromisoval.
5.
Golongan lain, seperti senyawa piperindindion
(glutetimida ) dan metaqualon.
Obat generik, indikasi, kontra indikasi, dan efek samping
1.
Diazepam
Indikasi : hipnotika dan
sedative, anti konvulsi, relaksasi, relaksasi otot dan anti ansietas (obat
epilepsi).
2.
Nitrazepam
Indikasi : seperti indikasi
diazepam
Efek samping : pada pengguanaan lama terjadi kumulasi dengan efek
sisa (hang over ), gangguan koordinasi dan melantur.
3.
Flunitrazepam
Indikasi : hipnotik, sedatif,
anestetik premedikasi operasi.
Efek samping : amnesia (hilang ingatan )
4.
Kloral hidrat
Indikasi : hipnotika dan
sedatif
Efek samping: merusak mukosa lambung usus dan ketagihan
5.
Luminal
Indikasi : sedative, epilepsy,
tetanus, dan keracunan strikhnin.
BAB III
PENUTUP
3.1 Saran
Kami sebagai
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca karena untuk kebaikan
kedepannya supaya kami bisa menyajikan karya tulis yang lebih baik.
makalahnya cukup bagus
BalasHapushebat
BalasHapus