Jumat, 27 September 2013

Makalah Farmakologi Obat Analgetik

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau  menghalaurasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi dan ambang toleransi nyeri yang berbeda-beda bagi setiap orang. (Tan dan Kirana 2002) Parasetamol merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat(SSP).
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan  tunggalsebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002) .Parasetamol mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja antiradang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung hal ini disebabkan parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung, 2011)
Parasetamol mempunyai efek samping yang paling ringan dan aman untuk anak-anak.Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya digunakan Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter.Dari penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan Parasetamol bekerja lebih efektif terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-sendiri. (Sartono 1996) Obat ini digunakan untuk mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri, misalnya pada sakit kepala, sakit gigi, nyeri haid dan lain sebagainya. Obat-obat golongan ini yang beredar sebagai obat bebas adalah untuk sakit yang bersifat ringan, sedangkan untuk sakit yang berat (misal: sakit karena batu ginjal, batu empedu dan kanker) perlu menggunakan jenis obat yang lebih poten (harus dengan resep dokter) dan untuk demam yang berlarut-larut membutuhkan pemeriksaan dokter. (Widodo 2004).Berbeda dengan obat analgetik yang lain seperti aspirin dan ibuprofen, parasetamol tidak memiliki sifat antiradang. Parasetamol aman dalam dosis standar, tetapi karena mudah didapati, kejadian overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi. (Nasution, Y.A., 2009)

1.2 Tujuan
o   Agar Mahasiswa Mengetahui Tentang Obat-obat Sistem Saraf
o   Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Ilmu Dasar Keperawatan V

1.3 Rumusan Masalah
o   Jelaskan Obat-obat Sistem Saraf ?
o   Jelaskan Obat Analgetika-Antipiretika
o   Jelaskan Analgetika-Narkotika ?
o   Jelaskan Hipnotik-Sedativa (Penenang) ?























BAB II
PEMBAHASAN
2.1 OBAT-OBAT SISTEM SARAF
A. ANALGETIKA-ANTIPIRETIKA
Pengertian
Analgetika adalah obat-obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa sakit tanpa menghilangkan kesadaran.Analgetika pada umumnya diartikan sebagai suatu obat yang efektif untuk menghilangkan sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi, dan nyeri lainnya.Hampir semua analgetika ternyata memiliki efek anti inflamasi dimana efek anti inflamasi sendiri berguna untuk mengobati radang sendi (artritis remautoid).Jadi analgetika anti inflamasi non steroid adalah obat-obat analgetika yang selain mempunyai efek analgetika juga mempunyai efek anti inflamasi, sehingga obat-obat jenis ini digunakan dalam pengobatan reumatik dan gout.
Obat anti inflamasi non steroid (AINS) merupakan obat yang paling banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep dari dokter.Obat-obat golongan ini merupakan suatu obat yang heterogen secara kimia. Klasifikasi kimiawi AINS, tidak banyak manfaat kliniknya karena ada AINS dari subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda, sebaliknya ada obat AINS yang berbeda subgolongan tetapi memiliki sifat yang serupa. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).
Beberapa AINS umumnya bersifat anti-inflamasi, analgesik dan antipiretik. Efek antipiretiknya bari terlihat pada dosis yang lebih besar dari pada efek analgesiknya, dan AINS relatif lebih toksis dari pada antipiretika klasik, maka obat-obat ini hanya digunakan untuk terapi penyakit inflamasi sendi seperti artritis reumatoid, osteo-artritis, spondilitis ankliosa dan penyakit pirai. Respon individual terhadap AINS bisa sangat bervariasi walaupun obatnya tergolong dalam kelas atau derivat kimiawi yang sama. Sehingga kegagalan dengan satu obat bisa dicoba dengan obat sejenis dari derivat kimiawi yang sama. Semua AINS merupakan iritan mukosa lambung walaupun ada perbedaan gradasi antar obat-obat ini.

Patologi
Adapun penyebab nyeri sendiri yaitu akibat pengeluaran prostaglandin secara berlebihan akibat adanya rangsangan nyeri. Adapun rangsangan nyeri sendiri yaitu :
1.    Fisika , dapat berupa benturan dan menyebabkan bengkak
2.    Kimia, dapat terjadi karena tertetesi HCL dan zat-zat kimia lainnya
3.    Biologi , dapat terjadi karena terinfeksi bakteri atau kuman
Nyeri timbul oleh karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif, baik perifer maupun sentral.Dalam keadaan normal, reseptor tersebut tidak aktif.Dalam keadaan patologis, misalnya inflamasi, nosiseptor menjadi sensitive bahkan hipersensitif. Adanya pencederaan jaringan akan membebaskan berbagai jenis mediator inflamasi, seperti prostaglandin, bradikinin, histamin dan sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya nyeri. AINS mampu menghambat sintesis prostaglandin dan sangat bermanfaat sebagai antinyeri

Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja anti-inflamsi non steroid (AINS) berhubungan dengan sistem biosintesis prostaglandin yaitu dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 menjadi terganggu.Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform yang disebut COX-1 dan COX-2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda. Secara garis besar COX-1 esensial dalam pemelihraan berbagai fungsi dalam keadaan normal di berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran cerna, dan trombosit.Dimukosa lambung aktivitas COX-1 menghasilakan prostasiklin yang bersifat protektif.Siklooksigenase 2 diinduksi berbagi stimulus inflamatoar, termasuk sitokin, endotoksindan growth factors.Teromboksan A2 yang di sintesis trombosit oleh COX-1 menyebabkan agregasi trombosit vasokontriksi dan proliferasi otot polos.Sebaliknya prostasiklin PGL2 yang disintesis oleh COX-2 di endotel malvro vasikuler melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit.


Obat-Obat Analgetik Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)
Dibawah ini adalah obat-obat yang tergolong AINS, yaitu :
1.    Asam mefenamat dan Meklofenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgetika dan anti-inflamasi, asam mefenamat kurang efektif dibandingkan dengan aspirin.Meklofenamat digunakan sebagai obat anti-inflamasi pada reumatoid dan osteoartritis.Asam mefenamat dan meklofenamat merupakan golongan antranilat.Asam mefenamat terikat kuat pada pada protein plasma.Dengan demikian interaksi dengan oabt antikoagulan harus diperhatikan.
Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia, diare sampai diare berdarah dan gejala iritasi terhadap mukosa lambung.Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari.Sedangakan dosis meklofenamat untuk terapi penyakit sendi adalah 240-400 mg sehari.Karena efek toksisnya di Amerika Serikat obat ini tidak dianjurkan kepada anak dibawah 14 tahun dan ibu hamil dan pemberian tidak melebihi 7 hari.
2.    Diklofenak
Diklofenak merupakan derivat asam fenilasetat.  Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung lengkap dan cepat.Obat ini terikat pada protein plasma 99% dan mengalami efek metabolisma lintas pertama (first-pass) sebesar 40-50%.Walaupun waktu paruh singkat 1-3 jam, dilklofenakl diakumulasi di cairan sinoval yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut.
Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama seperti semua AINS, pemakaian obat ini harus berhati-hati pada pasien tukak lambung. Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan.Dosis orang dewasa 100-150 mg sehari terbagi dua atau tiga dosis.
3.    Ibuprofen
Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan pertama kali dibanyak negara.Obat ini bersifat analgesik dengan daya efek anti-inflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama seperti aspirin, sedangkan efek anti-inflamasinya terlihat pada dosis 1200-2400 mg sehari. Absorpsi ibuprofen cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai dicapai setelah 1-2 jam. 90% ibuprofen terikat dalam protein plasma, ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap.
Pemberian bersama warfarin harus waspada dan pada obat anti hipertensi karena dapat mengurangi efek antihipertensi, efek ini mungkin akibat hambatan biosintesis prostaglandin ginjal.Efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan dengan aspirin.Ibuprofen tidak dianjurkan diminum wanita hamil dan menyusui.Ibuprofen dijual sebagai obat generik bebas dibeberapa negara yaitu inggris dan amerika karena tidak menimbulkan efek samping serius pada dosis analgesik dan relatif lama dikenal.
4.    Fenbufen
Berbeda dengan AINS lainnya, fenbufen merupakan suatu pro-drug.Jadi fenbufen bersifat inaktif. Zat ini memiliki waktu paruh 10 jam sehingga cukup diberikan 1-2 kali sehari. Absorpsi obat melalui lambung dan kadar puncak metabolit aktif dicapai dalam 7.5 jam. Efek samping obat ini sama seperti AINS lainnya, pemakaian pada pasien tukak lambung harus berhati-hati. Pada gangguan ginjal dosis harus dikurangi. Dosis untuk reumatik sendi adalah 2 kali 300 mg sehari dan dosis pemeliharaan 1 kali 600 mg sebelum tidur.
5.    Indometasin
Merupakan derivat indol-asam asetat.Obat ini sudah dikenal sejak 1963 untuk pengobatan artritis reumatoid dan sejenisnya.Walaupun obat ini efektif tetapi karena toksik maka penggunaan obat ini dibatasi.Indometasin memiliki efek anti-inflamasi sebanding dengan aspirin, serta memiliki efek analgesik perifer maupun sentral.In vitro indometasin menghambat enzim siklooksigenase, seperti kolkisin.
Absorpsi pada pemberian oral cukup baik 92-99%.Indometasin terikat pada protein plasma dan metabolisme terjadi di hati. Di ekskresi melalui urin dan empedu, waktu paruh 2- 4 jam. Efek samping pada dosis terapi yaitu pada saluran cerna berupa nyeri abdomen, diare, perdarahan lambung dan pankreatis.Sakit kepala hebat dialami oleh kira-kira 20-25% pasien dan disertai pusing.Hiperkalemia dapat terjadi akibat penghambatan yang kuat terhadap biosintesis prostaglandin di ginjal.
Karena toksisitasnya tidak dianjurkan pada anak, wanita hamil, gangguan psikiatrik dan pada gangguan lambung. Penggunaanya hanya bila AINS lain kurang berhasil. Dosis lazim indometasin yaitu 2-4 kali 25 mg sehari, untuk mengurangi reumatik di malam hari 50-100 mg sebelum tidur.
6.    Piroksikam dan Meloksikam
Piroksikam merupakan salah satu AINS dengan struktur baru yaitu oksikam, derivat asam enolat. Waktu paruh dalam plasma 45 jam sehingga diberikan sekali sehari. Absorpsi berlangsung cepat di lambung, terikat 99% pada protein plasma.Frekuensi kejadian efek samping dengan piroksikam mencapai 11-46% dan 4-12%.Efek samping adalah gangguan saluran cerna, dan efek lainnya adalah pusing, tinitus, nyeri kepala dan eritema kulit.Piroksikam tidak dianjurkan pada wanita hamil, pasien tukak lambung dan yang sedang minum antikoagulan.Dosis 10-20 mg sehari.
Meloksikam cenderung menghambat COX-2 dari pada COX-1.Efek samping meloksikam terhadap saluran cerna kurang dari piroksikam.
7.    Salisilat 
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal dengan asetosal atau aspirin adalah analgesik antipiretik dan anti inflamasi yang sangat luas digunakan.Asam salisilat sangat iritatif, sehingga hanya digunakan sebagai obat luar.Derivatnya yang dapat dipakai secara sistemik adalah ester salisilat dengan substitusi pada gugus hidroksil, misalnya asetosal. Untuk memperoleh efek anti-inflamasi yang baik dalam kadar plasma perlu dipertahankan antara 250-300 mg/ml.
Pada pemberian oral sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh di lambung. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian. Setelah diabsorpsi salisilat segera menyebar ke jaringan tubuh dan cairan transeluler sehingga ditemukan dalam cairan sinoval. Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik, efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesa tromboksan.
8.    Diflunsial
Obat ini merupakan derivat difluorofenil dari asam salisilat, bersifat analgetik dan anti inflamasi tetapi hampir tidak bersifat antipiretik. Kadar puncak yang dicapai 2-3 jam. 99% diflunsial terikat albumin plasma dan waktu paruh berkisar 8-12 jam. Indikasi untuk nyeri sedang sampai ringan dengan dosis awal 250-500 mg  tipa 8-12 jam. Untuk osteoartritis dosis awal 2 kali 250-500 mg  sehari. Efek samping lebih ringan dari asetosal.
9.    Fenilbutazon dan Oksifenbutazon
Fenilbitazon dan oksifenbutazon merupakan derivat pirazolon. Dengan adanya AINS yang lebih aman, fenilbutazon dan oksifenbutazon tidak lagi dianjurkan digunakan sebagai anti-inflamasi kecuali obat lain tidak efektif.
Derivat pirazolon ini memiliki khasiat antiflogistik yang lebih kuat dari pada kerja analgetiknya jadi golongan ini hanya digunakan sebagai obat rematik.Fenilbutazon dimasukan secara diam-diam dengan maksud untuk mengobati keadaan lesu dan letih, otot-otot lemah dan nyeri.  Efek samping derivat pirazolon dapat menyebabkan agranulositosis, anemia aplastik, dan trombositopenia.
10.    Allopurinol
Allopurinol digunakan untuk menurunkan kadar asam urat di dalam serum dan urin pada penanganan gout primer dan sekunder. Allopurinol bekerja dengan menghambat xanthin oksidase, enzim yang bertugas mengubah hipoxanthine menjadi xanthin kemudian menjadi asam urat.Allopurinol mencegah atau menurunkan endapan asam urat sehingga mencegah gout arthritis.Dengan dosis awal 2 kali sehari 100-300 mg sehari diminum segera setelah makan.Efek samping allopurinol dapat menyebabkan hipersensitfitas, gangguan gastrointestinal, sakit kepala dan megantuk.Maka harus berhat-hati pada pasien yang sedang mengendarai dan mengoperasikan mesin.

B. ANALGETIKA NARKOTIKA
Analgetika opioid sering disebut analgetika sentral. Memiliki daya penghalang  nyeri yang kuat sekali dengan titik kerja yang terletak di SSP. Umumnya dapat mengurangi kesadaran (mengantuk) dan memberikan perasaan nyaman (euphoria). Analgetik opioid ini merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat.
Dapat juga menyebabkan toleransi, kebiasaan (habituasi), ketergantungan fisik dan psikis (adiksi) dan gejala-gejala abstinensia bila diputuskan pengobatan (gejala putus obat). Karena bahaya dan gejala-gejala di atas maka pemakaian obat-obat ini diawasi dengan seksama oleh DEPKES  dan dimasukkan kedalam Undang-undang  Obat Bius (Narkotika).
Analgetika narkoti, kini disebut juga opioida (= mirip opiate) adalah zat yang bekerja terhadap reseptor opioid khas di susunan saraf pusat, hingga persepsi nyeri dan respon emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi). Minimal ada 4 jenis reseptor, pengikatan padanya menimbulkan analgesia.Tubuh dapat mensintesa zat-zat opioidnya sendiri, nyakni zat –zat endorphin yang juga bekerja melalui reseptor opioid tersebut.
Tubuh sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh sendiri (endogen), terutama dalam batang otak dan sumsum tulang belakang yang mempersulit penerusan impuls nyeri.
Dengan sistem ini dapat dimengerti mengapa nyeri dalam situasi tertekan, misalnya luka pada kecelakaan lalu lintas mula-mula tidak terasa dan baru disadari beberapa saat kemudian. Senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh sistem endogen ini disebut opioid endogen. Beberapa senyawa yang termasuk dalam penghambat nyeri endogen antara lain: enkefalin, endorfin, dan dinorfin.
Endorphin (morfin endogen) adalah kelompok polipeptidaendogen yang terdapat di CCS dan dapat menimbulkan efek yang menyerupai efek morfin.Zat-zat ini dapat dibedakan antara β-endorfin, dynorfin dan enkefalin (yun. Enkephalos = otak), yang menduduki reseptor-reseptor berlainan.secara kimiawi za-zat ini berkaitan dengan kortikotrofin (ACTH), menstimulasi pelepasanya juga dari somatotropin dan prolaktin. Sebaiknya pelepasan LH dan FSH dihambat oleh zat ini.β-endorfin pada hewan berkhasiat menahan pernapasan, menurunkan suhu tubuh dan menimbulkan ketagihan. Zat ini berdaya analgetis kuat, dalam arti tidak merubah persepsi nyeri, melainkan memperbaiki ‘’penerimaannya”. Rangsangan listrik dati bagian- bagian tertentu otak mengakibatkan peningkatan kadar endorphin dalam CCS. Mungkin hal ini menjelaskan efek analgesia yang timbul (selama elektrostimulasi) pada akupunktur, atau pada stress (misalnya pada cedera hebat).Peristiwa efek placebo juga dihubungkan dengan endomorfin.
Opioid endogen ini berhubungan dengan beberapa fungsi penting tubuh seperti fluktuasi hormonal, produksi analgesia, termoregulasi, mediasi stress dan kegelisahan, dan pengembangan toleransi dan ketergantungan opioid. Opioid endogen mengatur homeostatis, mengaplifikasi sinyal dari permukaan tubuh ke otak, dan bertindak juga sebagai neuromodulator dari respon tubuh terhadap rangsang eksternal.
Baik opioid endogen dan analgesik opioid bekerja pada reseptor opioid, berbeda dengan analgesik nonopioid yang target aksinya pada enzim.
Ada beberapa jenis Reseptor opioid  yang telah diketahui dan diteliti, yaitu reseptor opioid μ, κ, σ, δ, ε.  (dan yang terbaru ditemukan adalah N/OFQ receptor, initially called the opioid-receptor-like 1 (ORL-1) receptor or “orphan” opioid receptor dan e-receptor, namum belum jelas fungsinya).
Reseptor μ memediasi efek analgesik dan euforia dari opioid, dan ketergantungan fisik dari opioid. Sedangkan reseptor μ 2 memediasi efek depresan pernafasan.
Reseptor δ yang sekurangnya memiliki 2 subtipe berperan dalam memediasi efek analgesik dan berhubungan dengan toleransi terhadap μ  opioid. reseptor κ telah diketahui dan berperan dalam efek analgesik, miosis, sedatif, dan diuresis. Reseptor opioid ini tersebar dalam otak dan sumsum tulang belakang. Reseptor δ danreseptorκ menunjukan selektifitas untuk ekekfalin dan dinorfin, sedangkan reseptor  μ selektif untuk opioid analgesic.

Mekanisme umumnya  :
Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel, selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah terjadinya pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat.
Endorfin bekerja dengan jalan menduduki reseptor – reseptor nyeri di susunan saraf pusat, hingga perasaan nyeri dapat diblokir.Khasiat analgesic opioida berdasarkan kemampuannya untuk menduduki sisa-sisa reseptor nyeri yang belum di tempati endokfin.Tetapi bila analgetika tersebut digunakan terus menerus, pembentukan reseptor-reseptor baru di stimulasi dan pdoduksi endorphin di ujung saraf pusat dirintangi.Akibatnya terjadilah kebiasaan dan ketagihan.

Efek-efek yang ditimbulkan dari perangsangan reseptor opioid diantaranya:
o   Analgesik
o   Medullary effect
o   Miosis
o   Immune function and Histamine
o   Antitussive effect
o   Hypothalamic effect
o   GI effect

Efek samping umum
o   Pada dosis biasa : gangguan lambung usus (mual, muntah, obstipasi), efek saraf pusat (kegelisahan, rasa kantuk, euphoria), dan lain-lain.
o   Pada dosis tinggi : efek yang lebih berbahaya seperti sulit bernafas, tekanan darah turun, sirkulasi darah terganggu, koma, dan sampai pernafasan terhenti.
o   Supresi susunan saraf pusat, misalnya sedasi, menekan pernafasan dan batuk, miosis, hypothermia, dan perubahan suasana jiwa (mood). Akibat stimulasi lagsung dari CTZ (Chemo Trigger Zone) timbul mual dam muntah. Pada dosis lebih tinggi mengakibatkan menurunnya aktifitas mental dan motoris.
o   Saluran cerna : motilitas berkurang (obstipasi), kontraksi sfingter kandung empedu  (kolik batu empedu).
o   Saluran urogenital : retensi urin (karena naik nonus dari tonus dan sfingter kandung kemih), motilitas uterus berkurang (waktu persalinan diperpanjang).
o   Saluran nafas: bronchkontriksi, penafasan menjadi lebih dangkal dan frekuensi turun.
o   System sirkulasi : vasodilatasi, hypertensi dan bradycardia.
o   Histamine-liberator: urticaria dan gatal-gatal, karena menstimulasi pelepasan histamine.
o   Kebiasaan dengan resiko adiksi pada penggunaan lama. Bila terapi dihentikan dapat terjadi gejala abstinensia.

PENGGOLONGAN
Atas dasar cara kerjanya, obat – obat ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yakni :
1.    Agonis opiate, yang dapat dibagi dalam :
Alkaloida candu : morfin, kodein, heroin, nicomorfin.
Zat-zat sintesis : metadon dan derivate-derivatnya (dekstromoramida, propoksifen, bezitramida), petidin dan detivatnya (fentanil, sufentanil) dan tramadol.
Cara kerja obat-obat ini sama dengan morfin hanya berlainan dengan potensi dan lama kerjanya. Efek samping dan resiko akan kebiasaan dengan ketergantungan fisik.
2.    Antagonis opiate : nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin, dan nalbufin. Bila digunakan sebagai analgetika, obat ini dapat menduduki salah satu reseptor.
3.    Kombinasi, zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak mengaktifasi kerjanya dengan sempurna.
Undang – undang narkotika. Dikebanyakan Negara,beberapa obat dari kelompok obat ini, seperti propoksifen, pentazosin, dan tramadol, tidak termasuk dalam undang – undang narkotika, karena bahaya kebiasaan dan adiksinya ringan sekali. Namun, penggunaannya dalam jangka waktu lama tidak dianjurkan.Pada tahun 1978, propeksifen di negeri Belanda dimasukkan dalam “opiumwet”.
PENGGUNAAN
                               Tangga analgetika. WHO telah menyusun suatu program penggunaan analgetika untuk nyeri hebat misalnya pada kanker, yang mengolongkan obat dalam 3 kelas, yakni :
a.       Non-opioida : NSAID’s, termasuk asetosal dan kodein
b.       Opioida lemah : d-propoksifen, tramadol, dan kodein, atau kombinasi parasetamol dengan kodein
c.       Opioida kuat : morfin dan derivate – derifatnya serta zat – zat sintetis opioid.
Menurut program ini, pertama-tama obat diberika 4 dd 1 g parasetamol, bila efeknya kurang beralih ke 4-6 dd kodein 30-60 mg (bersama parasetamol).Baru bila langkah ini tidak menghasilkan analgesi yang memuaskan, dapat biberikan opioid kuat. Pilihan pertama dalam hal ini adalah morfin ( oral, subkutan kuntinu, intravena, epidural atau spinal).
Tujuan utama dari program ini adalah untuk meghindari resiko kebiasaan dan adiksi untuk opioid bila diberikan sembarangan.

KEHAMILAN DAN LAKTASI
            Opioida dapat melintasi plasenta, tetapi dapat digunakan beberapa waktu sebelum persalinan.Bila diminum terus, zat ini dapat meursak janin akibat depresi pernafasan dan memperlambat persalinan.Banyi dan ibu yang ketagihan menderita gejala abstinensi. Selama laktasi, ibu dapat menggunakan opioida karena hanya sedikit terdapat pada air susu ibu.

KEBIASAAN DAN KETERGANTUNGAN
            Penggunaan pada jangka waktu yang lama pada sebagian pemakai menimbulkan kebiasaan dan ketegantungan.Penyebabnya mungkin karena berkurangnya resoprpsi opioid atau perombakan /eliminasinya yang dipercepat atau bisa juga karena penurunan kepekaan jaringan.Obat menjadi kurang efektif, sehingga diperlukan lagi dosis yang lebih tinggi lagi untuk mencapai efek semula.Peristiwa ini disebut dengan toleransi dan bercirikan pula bahwa dosis tinggi dapat lebih baik diterima tanpa menimbulakn efek intoksikasi.
            Disamping ketergantungan fisik tersebut dapat pula ketergantungan psikis, yaitu kebutuhan mental akan efek psikotrop (euphoria, rasa nyaman dan segar) yang dapat menjadi sangat kuat, hingga pasien seolah olah terpaksa melanjutkan penggunaan obat.
            Gejala abstinensi selalu timbul bila penggunaan obat dihentikan ( dengan mendadak) dan semula dapat berupa menguap, berkeringan hebat dan air mata mengalir, tidur gelisan dan merasa kedinginan.. lalu timbul muntah-muntah, diare, tachycardia, ydriasis (pupil membesar), tremor, kejang otot, peningkatan tensi, yang dapat disertai dengan reaksi psikis hebat (gelisah, mudah marah dank e khawatiran mati).
            Efek-efek ini menjadi penyebab mengapa penderita yang duah ketagihan sukar sekali menghentikan opiate.Guna menghindari efek-efek opiate ini, mereka terpaksa melanjutkan penggunaannya.
            Ketergantingan fisik lazimnya sudah lenyak dua minggu setelah penggunaan obat dihentikan.Ketergantungan psikis seringgkali sangan erat, maka pembebasan yang tuntas skar sekali dicapai.
 
ANTAGONIS MORFIN
            Antagonis morfin adalah zat-zat yang dapat melawan efek-efek opioida tanpa mengurangi kerja analgetisnya.Yang paling terkenal adalah nalokson, naltrekson, dan nalorfin. Obat ini digunakan terutama pada overdose intoksikasi. Khasiat antagonisnya diperkirakan berdasarkan penggeseran opioda dari tempatnya di reseptor-reseptor otak.Antagonis morfin juga berkhasiat analgetis, tetapi tidak digunakan dalam terapi karena khasiatnya lemah an efeksampingnya mirip morfin (depresi pernafasan, reaksi psikotis).

Macam-macam obat Analgesik Opioid :
a. Morfin (F.I) : MS Contin, kapanol.
Candu atau opium adalah getah yang dikeringkan dan diperolah dari tumbuhan papaver somniferum (Lat = menyebabkan tidur) morfin mengandung 2 kelompok alkaloida yang secara kimia sangan berlainan. Kelompok fenantren meliputi morfin, kodein dan tebain. Kelompok kedua adalah isokinolin dengan struktur kimiawi dan khasian amat berlainan (antara lain non-narkotis), yakni papaverin, nosapin ( = narkotin), dan narsein. Zat ini berkhasiat analgetis sangan kuat, lagi pula memiliki jenin kerja sentral lainnya , antara lain sedative dan hipnotis, menimbukakn euphoria, menekan pernafasan, dan menghilangkan efek batuk, yang semuanya berdasarkan supresi susunan saraf pusat (SSP). Morfin juga menimbulakn efek stimulasi SSP, misalnya miosis (peciutan pupil mata), mual, muntah-muntah, eksitasi, konvulsi.Efek perifernya yang penting adalah obstipasi, retensi kemih, dan vasodilatasi pembuluh kulit.
            Penggunaannya khusus pada nyeri kuat kronis dan akut, seperti pasca-bedah dan setekah infark jantung, juga pada fase terminal dari kanker. Banyak digunakan sebagai tablet retard untuk memperpanjang kerjanya (MS Contin, kapanol).
            Resorpsinya di usus baik, tetapi BA nya hanya ca 25 % akibat FPE besar, mulai kerjanya setelah 1-2 jam dan bertahan samai 7 jam. Resorpsi dari suppositoria umumnya sedikin lebih baik, secara s.c./i/m baik sekali. PP nya 35% dalam hati zat ini diubah menjadi 70% dalam bentuk glukuronida, dan hanya sebagian kecil ( 3%) dari jumlah ini terdiri dari morfin-6-glukuronida, dengan kerja analgetis lebih kuat. Ekskresinya melalui kemih, empedu dengan siklus enterohepatis, dan tinja.
ANTIDOTA. Pada intoksikasi digunakan antagonis morfin sebagai antidotum, yakni nalokson
Dosis : dewasa oral 3-6 dd 10-20 mg garam-HCl, s.c/i.m. 3-6 dd 5-20 mg.
Anak-anak : oral 2 dd 0,1-0,2 mg/kg.
Sediaan
      a.      Pulv. Opii : 10% morfin
      b.      Pulv. Doveri : 1% morfin + Rad. Ipecacuanhae + K2SO4.
      c.       Acidov II : p. Doveri150 mg + salamid 350 mg.
      d.      Heroin (diamorfin, diasetilmorfin) adalah turunan semi-sintesis dengan kerja analgetis yang 2 kali lebih kuat, tetapi mengakibatkan adiksi yang cepat dan hebat sekali. Dengan alas an ini heroin tidak digunakan lagi dalam terapi, tetapi sangat disukain sekali oleh para pecandu drug.
     
      b.      Metadon : amidon, symoron
Zat sintetis ini (1947) adalah suatu campuran rasemis, yang memiliki daya analgetik dua kali lebih kuat dari pada morfin, dan berkhasiat anastetik local.
Indikasi : Detoksifikasi ketergantungan morfin, nyeri hebat pada pasien yang di rawat di rumah sakit.
Resorpsinya di usus baik, PP-nya 90% plasma-t-1/2-nya rata-rata 25 jam dan efeknya dapat bertahan sampai 48 jam pada terapi pemeliharaan bagi para pecadu. Umumnya metadon tidak menimbulkan eurofia, sehingga banyak digunakan untuk menghindari gejala abstinensi setelah penghentian penggunaan zat opioida yang lain. Khusus digunakan sebagai zat pengganti heroin dan morfin pada terapi subtitusi para candu.
Efek sampingnya kurang hebat dari morfin terutama efek hipnotis dan euforianya lemah, tetapi bertahan lebih lama. Penggunaan lama juga menimbulkan adiksi yang lebih mudah disembuhkan. Efek obstipasinya agak ringan tetapi penggunaannya selama selama persalinan harus dengan hati-hati karena dapat menekan pernafasan.
Dosis : pada nyeri oral 4-6 dd 2,5 -10 mg garam HCl, maksimum 150 mg/hari. Terapi pemeliharaan pecandu : permulaan 20-30 mg, setelah 3-4 jam 20 mg, lalu 1 dd 50-100 mg selama 6 bulan.
*Dekstromoramida (patfium) adalah opioid sintetis (1956) yang rumusnya mirip metadon. Khasiat analgetisnya lebih kuat sedikit dari pada morfin. Mulai kerjanya cepat, efeknya setelah 20-30 menit, dan bertahan lebih singkat, ca 3 jam. Depresi pernafasannya lebih kuat dibandingkan morfin, pada dosis biasa dapat tejadi apnoe, begitu pula efek adiksinya. Tidak layak untuk pengobatan nyeri kronis. Efek sedasi dan obstipasinya lebih ringan
            Dosis : oral, s.c. atau i.m. 3-4 dd 2,5-5 mg sebagai hidrogentartrat,
Efek tak diinginkan:
ü  Depresi pernapasan
ü  Konstipasi
ü  Gangguan SSP
ü  Hipotensi ortostatik
ü  Mual dan muntah pada dosis awal

b.      Fentanil :fetanyl, durogesic, *Thalamonal.
Derivate piveridin ini (1963) merupakan turunan dari petidin (dolnatin) yang jarang digunakan lagi karena efek samping dan sifat adiksinya. Efek analgenis agonis opiate ini 80x lebih kuat dari pada morfin. Mulai kerjanya cepat, yaitu 2-3 menit (i.v.), tetapi singkat hanya ca 30 menit.
Indikasi : Medikasi praoperasi yang digunakan dalan anastesi dan infack jangtung.
Efek sampingnya  mirip morfin, termasuk defresi pernafasan, bronchospasme, dan kekakuan otot (thorax). Zat ini jarang menimbulkan penghambatan sirkulasi, yakni penurunan cardiack output dan bradycardia.
Dosis : pada infark i.v. 0,05 mg + 2,5 mg droperidl (thalamonal), bila perlu diulang setelah setengah jam. Plester (durogenic) melepaskan secara konstan morfin selama 72 jam.
            Sufentanil (sufentalforte) adalah derivat (1981) dengan daya analgetis ca 10x lebih kuat. Sifat dan efek sampingnya sama dengan fentanil. Zat ini terutama digunakan pada waktu anestesi dan pasca bedah, juga pada waktu his dan persalinan (dikombinasi dengan suatu anestetikum).
            Dosis : pada waktu his dan persalinan epidural 10 mcg bersama bupivakain, bila perlu diulang 2 kali.

      b.      kodein (F.I.) : Metilmorfin, *Codipront
            Alkaloida candu ini memiliki khasiat yang sama dengan induknya, tetapi lebih lemah misalnya efek analgetisnya 6-7 x kurang kuat. Efek samping dan resiko adiksinya lebih ringan, sehingga sering digunakan sebagai obat batuk dan obat antinyeri, yang diperkuat melalui kombinasi denagn parasetamol/asetasal.Obstipasi dan mual dapat terjadi teruatama pada dosis lebih tinggi (diatas 3 dd 20 mg).resorpsi oral dan rectal baik; didalam hati obat ini diubah jadi narkodein dan morfin (10%). Ekskresinyalewat kemih debagai glukuronoda dan 10% secara utuh. Plasma-t1 / 2-nya 3-4 jam.
            Dosis : pada nyeri oral 3-6 dd 15-60 mg garam-HCl, anak-anak diatas 1 tahun 3-6 dd 0,5 mg/kg. pada batuk 4-6 dd 10-20 mg, maksimal 120 mg/hari, anak-anak 4-6 dd 1 mg/kg.
            *Etilmorfin (Dionin) adalah derivate dengan khasiat analgetis dan hipnotis lebih lemah, penghambatannya terhadap pernafasannya pun lebih ringan. Untuk menekan batuk, obat ini kurang efektif dibandingkan dengan kodein, tetapi dahulu banyak digunakan dalam sediaan batuk.
            *noskapin (narkotin, longantin, mercotin, neocodin) adalah alkaloida candu lain, tanpa sifat narkotis, yang lebih efektif sebagai obat batuk
Dosis : pada anak-anak 2-3 dd 150 mg, maksimum 200 mg/ hari
           
Ko
c.       Tramadol : tramal
                        Derivat sikloheksanol ini (1977) adalah campuran rasemis dari 2 isomer. Khasiat analgetisnya sedang dan berdaya menghambat reuptake noradrenalin dan antitusif (anti-batuk). Obat ini disebagian negara sianggap sebagai analgetikum opiat karena bekerja sentral, yakni melalui pendudukan reseptor opioid. Meskipun demikina zat ini tidak menekan pernafasan, praktis tidak mempenganruhi sistem kardiovaskuleratau motilitas lambung-usus. Tramadol digunakan untuk sakit nyeri menengah hingga parah. Sediaan tramadol pelepasan lambat digunakan untuk menangani nyeri menengah hingga parah yang memerlukan waktu yang lama.
Walaupun memiliki sifat adiksi ringan tetapi dalam praktek ternyata rasikonya praktis nihil sehingga tidak termasuk daftar narkotika di kebanyakan negara deperti AS, GB, BRD, Swis, Swedia, Jepang, termasuk Indonesia. Efek analgetis dari 120 mg tramadol oral setaraf dengan 30-60 mg morfin. Penggunaannya oral, rektal, dan parental untuk nyeri sedang sampai hebat, bila kombinasi parasetamol-kodein dan NSAIDs kurang efektif atau tidak dapat digunakan. Untuk nyeri akut atau pada kanker pada umumnya morfin lebih ampuh.
                        Resorpsinya di usus cepat dan tuntas dengan BA rata-rata 78%, plasma-t-1/2-nya 6 jam. Efeknya dimulai sesudah 1 jam dan dapat bertahan hingga 6-8 jam. Dalam hati , sebagian besar zat diuraikan menjadi antara lain metabolit dengan daya kerja 6 kali lebih kuat. Ekskresinya berlangsung lewat urin, untuk 10% secara utuh.
                        Efek sampingnya tak begitu berat dan sering berupa termangu-mangu, berkeringat, pusing, mual dan muntah, juga obstipasi, gatal-gatal, rash, nyeri kepala dan rasa letih. Resiko habituasi, ketergantungan dan adiksi dianggap ringan. Namun tidak di anjurkan penggunaannya oleh penderita dengan sejarah pengalahgunaan drugs.
Wanita hamil dan menyusui. Opioda dapat melintasi plasenta dan sebegitu jauhdiketahui tidak merugikan janin bila digunakan jauh sebelum partus. Hanya o,1% dari dosis masuk kedalam air susu ibu. Meskipun demikian, tramadok tidak dianjurkan selama kehamilan dan laktasi.
Dosis: di atas 14 tahun 3-4 dd 50-100 mg, maksimum 400 mg sehari. Anak-anak diats 1 tahun : 3-4 dd 1-3 mg/kg.
Minumlah tramadol sesuai dosis yang diberikan, jangan minum dengan dosis lebih besar atau lebih lama dari yang diresepkan dokter. Jangan minum tramadol lebih dari 300 mg sehari.

d.      Nalokson : narcan
                        Antagonis morfin ini memiliki rumus morfin dengan gugus alil pada atom N (1969). Zat ini dapat meniadakan semua khasiat morfin dan opioida lainya, terutama depresi pernafasan tanpa mengurangi efek analgetisnya. Penekanan pernapasan dari obat-obat depresi SSP lain ( barbital, siklopropan, eter) tidak ditiadakan, tetapi juga tidak diperkuat seperti nalorfin. Bila madiri tidak memiliki kerja agonistis (analgetis). Penggunaannya sebagai antidotum pada overdose opioida (dan barbital), paska operasi untuk mengatasi depresi pernapasan oleh opioid. Atau secara diagnostis untuk menentukan adiksi sebalum dimulai dengan penggunaan naltrexon.
                        Kinetik. Setelah injeksi i.v. sudah berefek setelah 2 menit, yang bertahan 1-4 jam. plasma-t-1/2-nya hanya 45-90 menit, lama kerjanya lebih singkat dari opioida, maka lajimnya perlu diulang beberapa kali.
                        Efek sampingnya dapat berupa tachycarsia (setelah bedah jantung), jarang reaksi alergi dengan shock dan edema paru-paru.
                        Pada penangkalan efek opioida terlalu pesat dapat menjadi mual, muntah, berkeringat, pusing-pusing, hipertensi, tremor, serangan epilepsi, dan berhentinya jantung.
Dosis : pada overdose opioida, intravena permula 0,4 mg, bila perlu diulang setiap 2-3 menit.
                        * Nalorfin (alilnormorfin) adalah zat induk nalokson (1952) dengan khasiat sama, kecuali juga berkhasiat analgesik lemah.
Zat ini mampu meniadakan depresi e\pernapasan yang hebat oleh opioida, tetapi justru memperkuat depresi yang bersifat ringan, atau akibat opioida dengan kerja campuran (agonistis dan antagonistis) dan zat-zat sentral lain. Oleh karena itu, zat ini hanya digunakan pada  operdose opioida bila nalokson tidak tersedia.
Dosis : pada overdose s.c./i.m./i.c. 5-10 mg bila perlu diulang setelah 10-15 menit sampai maksimum 40 mg sehari.
                        * Naltrekson (Nalorex) adalah derivat nalokson dimana gugus alil diganti dengan siklopropil (1985). Sifatnya antagonis murni yang tidak mengakibatkan toleransi atau ketergantungan fisik dan psikis. Dalam hati zat ini diubah menjadi metabolit aktif 6β-naltreksol yang terutama diekresi melalui kemih. Naltrekson mengalami siklus enterohepatis, masa paruhnya 4-12 jam.
Penggunaannya terutama untuk menghambat efek-efek opioida berdasarkan pengikatan kompetitif pada reseptor opioida dan sebagai obat antiketagihan heroin. Pada pecandu obat opiat dapat menimbulkan gejala abstinensi hebat dalam waktu 5 menit, yang dapat bertahan 48 jam. Obat ini hanya boleh diberikan setelah penghentian heroin / morfin atau metadon sekurang-kurangnya  masing – masing 7 dan 10 hari.
Dosis: permulaan 25 mg, bila tidak menjadi efek abstinensi setelah 1 jam diulang dengan 25 mg. Lalu
e.       Pentazocin : Fortral
                        Zat sintetis ini diturunkan dari morfin (1964), dimana cincin fenantren diganti oleh naftalen.Gugus-N-allil memberika efek antagonis terhadap opioida lainnya.Khasiatnya beragam, yakni disamping antagonis lemah, juga merupakan agonis parsiil.Khasiat analgetisnya sedang sampai kuat, lebih kurang antara kodein dan petidin 3 – 6 kali lebih lemah dari pada morfin.Di AS sering disalahgunakan dalam kombinasi dengan antihistaminika dan nalokson.
                        Resorpsinya diusus baik, tetapi BA hanya ca 20% akibat FPE besar. Mulai kerjnya cepat, setelah 15-30 menit dan bertahan minimal 3 jam. Efek rektalnya sama dengan pengguaan oral. PPnya 60% plasma-t-1/2-nya 2-3 jam. Dalam hati zat ini diubah menjadi metabolit yang diekresi terutama lewat kemih.
Dosis: pada nyeri sedang – kuat 3-4 dd 50-100 mg, maksimal 600 mg sehari.
f.       Kanabis : *marihuana, *hashiz,, weed, grass
                        Pucuk dengan kembang dan buah-buah muda yang dikeringkan dari bentukwanita tumbuhan cannabis sativa (Asia Barat). Kandungannya 0,3% minyak atsiri dengan zat-zat terpen, terutama tetrahidrokanabinol (THC). Zat ini banyak khasiat farmakologisnya, yang terpenting diantaranya adalah sedatif, hipnotis, dan analgetis, antimual dan spasmolitis.
                        Khasiat analgetis pada THC terjadi di batang otak, dimana terletak pula titik kerja dari opioida. Hanya mekasime kerjanya yang berlainan, reseptor morfin tidak memegang peranandan nalokson tiak melawan efek analgetisnya. Disamping itu ambang nyeri diturunkan. Dahulu meski jarang kanabis digunakan sebagai obat tidur, sedatifum, dan spasmolotikum pada tetanus, umumnya dalam bentuk ekstrak 2-3 dd 30-50 mg. Sekarang kanabis banyak disalahgunakan sebagai zat penyegar narkotik. Akhir-akhir ini mulai digunakan lagi dengan efek sebagai anti emetikum dan analgetikum, pada kangker, stimulans nafsu makan pada penderita AIDS, an obat relaksasi kejang/otot pada MS. 
g.      Dolantin
Merupakan zat sintetis , secara kimia lebih menyerupai atropin daripada morfin. Memiliki sifat spasmolitik, sedangkan sifat menekan terhadap pusat batuknya sama dengan morfin.
h.      Dihidromorfin dan Dilaudid
Adalah turunan morfin dengan khasiat analgetiknya kurang lebih 5 kali morfin, tetapi jangka waktu bekerjanya lebih pendek dan khasiat membiusnya lebih lemah.

3. HIPNOTIK-SEDATIVA (PENENANG)
Hipnotik atau obat tidur berasal dari kata hynops yang berarti tidur, adalah obat yang diberikan malam hari dalam dosis terapi dapat mempertinggi keinginan tubuh normal untuk tidur, mempermudah atu menyebabkan tidur.Sedangkan sedative adalah obat obat yang menimbulkan depresi ringan pada SSP tanpa menyebabkan tidur, dengan efek menenangkan dan mencegah kejang-kejang. Yang termasuk golongan obat sedative-hipnotik adalah: Ethanol (alcohol),Barbiturate,fenobarbital,Benzodiazepam, methaqualon.

Insomnia dan pengobatannya
Insomnia atau tidak bisa tidur  dapat disebabkan oleh factor-faktor seperti : batuk,rasa nyeri, sesak nafas, gangguan emosi, ketegangan, kecemasan, ataupun depresi. Factor penyebab ini harus dihilangkan dengan obat-obatan yang sesuai seperti:Antussiva, anelgetik, obat-obat vasilidator, anti depresiva, sedative atau tranquilizer.
Persyaratan obat tidur yang ideal
1.      Menimbulkan suatu keadaan yang sama dengan tidur normal
2.      Jika terjadi kelebihan dosis, pengaruh terhadap fungsi lain dari system saraf pusat maupun organ lainnya yang kecil.
3.      Tidak tertimbun dalam tubuh
4.      Tidak menyebabkan kerja ikutan yang negative pada keesokan harinya
5.      Tidak kehilangan khasiatnya pada penggunaan jangka panjang

Efek samping
Kebanyakan obat tidur memberikan efek samping umum yng mirip dengan morfin antara lain :
a.       Depresi pernafasan, terutama pada dosis tinggi, contihnya flurazepam, kloralhidrat, dan paraldehida.
b.      Tekanan darah menurun, contohnya golongan barbiturate.
c.       Hang-over, yaitu efek sisa pada keesokan harinya seperti mual, perasaan ringan di kepala dan pikiran kacau, contohnya golongan benzodiazepine dan barbiturat.
d.      Berakumulasi di jaringan lemak karena umumnya hipnotik bersifat lipofil.

Penggolongan
Secara kimiawi, obat-obat hipnotik digolongkan sebagai berikut :
1.      Golongan barbiturate, seperti fenobarbital, butobarbital, siklobarbital, heksobarbital,dll.
2.      Golongan benzodiazepine, seperti flurazepam, nitrazepam, flunitrazepam dan triazolam.
3.      Golongan alcohol dan aldehida, seperti klralhidrat dan turunannya serta paraldehida.
4.      Golongan bromide, seperti garam bromide ( kalium, natrium, dan ammonium ) dan turunan ure seperti karbromal dan bromisoval.
5.      Golongan lain, seperti senyawa piperindindion (glutetimida ) dan metaqualon.

Obat generik, indikasi, kontra indikasi, dan efek samping
1.      Diazepam
Indikasi        : hipnotika dan sedative, anti konvulsi, relaksasi, relaksasi otot dan anti ansietas (obat epilepsi).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZqFCUhBjT5zxRAZrwTnou0X7PpYp2Hw2Ak0Bp029XrptozLn0lfFihOdqO6zL2mx66e1azH9XwS1RHOu8PWo5K2cHdbyfHwtqpEaAPPjs2yZWjDg-4IGmIP-BvWJA0pDV3dJ92dLDPZeb/s1600/diazepam.jpg


2.      Nitrazepam
Indikasi        : seperti indikasi diazepam
Efek samping : pada pengguanaan lama terjadi kumulasi dengan efek sisa (hang over ), gangguan koordinasi dan melantur.
3.      Flunitrazepam
Indikasi        : hipnotik, sedatif, anestetik premedikasi operasi.
Efek samping : amnesia (hilang ingatan )
4.      Kloral hidrat
Indikasi        : hipnotika dan sedatif
Efek samping: merusak mukosa lambung usus dan ketagihan
5.      Luminal
Indikasi        : sedative, epilepsy, tetanus, dan keracunan strikhnin.


BAB III
PENUTUP

3.1 Saran

Kami sebagai penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca karena untuk kebaikan kedepannya supaya kami bisa menyajikan karya tulis yang lebih baik.

2 komentar: